Health & Wellness Trend: Challenge & Opportunity for Food Industry
Dahulu, pangan segar menjadi pilihan banyak orang, namun kini perubahan gaya hidup membuat pola makan seseorang berubah. Pangan yang sudah diolah dan siap saji kini menjadi idola sebagian besar masyarakat.
Banyak faktor yang menentukan perubahan pola makan tersebut, diantaranya yakni rutinitas pekerjaan yang makin sibuk, peningkatan pendapatan, kedua orang tua yang bekerja, hingga waktu yang tersita saat perjalanan menuju dan pulang kantor.
Yunawati Gandasasmita dari Gabungan Asosisasi Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) dalam Seminar FOODREVIEW INDONESIA bertajuk Health & Wellness Trend: Challenge & Opportunity for Food Industry pada 13 Mei lalu di IPB International Convention Center Bogor, menyebutkan bahwa meningkatnya penyakit tidak menular di Indonesia, sebaiknya segera dicegah, salah satunya dengan merubah pola konsumsi. "Biarkanlah makanan menjadi obatmu dan jangan sebaliknya," jelas Yunawati mengutip pernyataannya Hipocrates. Seminar tersebut diselenggarakan oleh FOODREVIEW INDONESIA bekerja sama dengan SEAFAST Center IPB, didukung oleh Glanbia Nutritionals, PT Nestle Indonesia, PT Gerhardt Indonesia, dan Minaku Seafood
Kehadiran teknologi dalam pengolahan pangan menyebabkan hilangnya sebagian gizi dalam bahan, karena hal tersebut maka perlu dilakukan fortifikasi untuk menambah zat gizi yang hilang. Tujuan fortifikasi adalah untuk pencegahan, karena kekurangan mikronutrien dapat menimbulkan penyakit, namun fortifikasi di Indonesia masih bersifat sukarela, hanya beberapa produk saja yang diwajibkan untuk difortifikasi seperti terigu dan garam.
Menurut Yunawati, terdapat 10 tren kunci mengenai produk pangan ke depannya, antara lain Naturally Functional, snackification, weight wellness, protein, good carbs vs bad carbs, dairy 2.0, free from, sugar, fat, digestive wellnees. Namun sayangnya, berdasarkan survey IFT Top Ten Trend 2015, produk yang diperkaya dengan vitamin dan mineral merupakan alasan terakhir bagi seorang konsumen saat membeli produk. Hal ini disebabkan karena masih banyak konsumen yang belum tahu dan mengerti dampak kesehatan mengonsumsi produk yang difortifikasi. Dari survey IFT tersebut diketahui, produk dengan klaim low sodium dan low sugar menjadi alasan kedua dan ketiga konsumen saat membali produk. Untuk mempopulerkan dan menignkatkan konsumsi pangan berfortifikasi, produsen tidak bisa sendiri mengomunikasikan hal ini kepada konsumen, namun harus bekerjasama dengan beberapa pihak, seperti pemerintahan melalui regulasinya, dan akademisi melalui penelitian dan teknologi yang berhubungan dengan organoleptik.
Turut hadir sebagai Pembicara dalam seminar tersebut adalah Drs. Suratmono, MP. (Badan POM RI), Prof. Nuri Andarwulan (SEAFAST Center IPB), Pamela Wang (Glanbia Nutrionals), dan Prof. Dedd Muchtadi (Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan FATETA IPB). Materi seminar dapat diunduh di www.foodreview.co.id. Fitria