Update on Nanotechnology in Food Industries
Teknologi nano merupakan salah satu inovasi yang banyak mendapat perhatian dalam dunia industri, termasuk yang bergerak di bidang pangan. Walau demikian, sebenarnya teknologi tersebut bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Menurut Direktur SEAFAST Center IPB, Prof. Purwiyatno Hariyadi, terdapat banyak komponen pangan yang telah lama diaplikasikan dalam bentuk nano. “Sebagai contoh adalah glukosa yang memiliki ukuran 1 nano meter atau molekul air yang juga berada dalam skala nano,” tutur Purwiyatno dalam Seminar FOODREVIEW INDONESIA Update on Nanotechnology in Food Industries, 9 Mei lalu. Acara yang diselenggarakan oleh FOODREVIEW INDONESIA bekerja sama dengan SEAFAST Center IPB serta Pameran LabIndonesia tersebut dilaksanakan di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta.
Lebih lanjut Prof. Purwiyatno menjelaskan, ketertarikan akan teknologi nano semakin meningkat sejak istilah tersebut diperkenalkan oleh Taniguchi (1974). Walau tidak tergolong baru, tetapi teknologi nano mendorong terjadinya inovasi peralatan dan instrumentasi yang memungkinkan perkembangan baru. “Beberapa potensi baru yang dapat berubah dengan adanya teknologi nano tersebut adalah, sifat optis meliputi warna atau transparansinya; elektrik atau konduktivitasnya; fisik yang meliputi kekerasan, titik leleh, difusitas; atau kimia, termasuk reaktivitas dan laju reaksinya,” kata Prof. Purwiyatno. Hanya saja, selain potensi dan peluang baru, Dia juga mengingatkan adanya peluang munculnya risiko baru. “Teknologi nano bisa jadi dapat meningkatkan bioavailibilitas atau daya penetrasi, tetapi juga jangan dilupakan peluang kemungkinan terjadinya peningkatan toksisitas,” tuturnya. Oleh sebab itu, perlu dilakukan analisa risiko.
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB dan juga Peneliti Senior SEAFAST Center IPB –Prof. Dedi Fardiaz, menjelaskan mengenai analisa risiko nano ingredients pada produk pangan. “EFSA (European Food Safety Authority, red) telah mengeluarkan pedoman pengkajian risiko dari aplikasi ilmu dan teknologi nano dalam rantai pangan dan pakan,” ungkap Prof. Dedi. Pedoman tersebut meliputi persyatan karakterisasi fisiko-kimia dari engineered nano materials (ENM) yang digunakan sebagai bahan tambahan pangan, enzim, perisa, food contact materials, novel foods, bahan tambahan pakan dan pestisida; serta pendekatan pengujian untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi sifat nano, dan umumnya, termasuk informasi dari genotoksisitas in vitro, penyerapan, distribusi, metabolisme dan ekskresi, serta mengulang studi toksisitas oral dengan pengulangan dosis 90 hari pada tikus. “Jika pedoman ENM diterapkan, hasil dari pengujian akan memberikan informasi untuk mengkaji potensi bahaya yang jika digabungkan dengan pengkajian paparan, dapat menjadi dasar bagi karakterisasi risiko,” tutur Prof. Dedi.
Di Indonesia, terdapat produk beredar yang telah dengan menggunakan ingridien nano. Namun demikian, belum ada definisi yang jelas mengenai teknologi nano di negera ini. Menurut Ir. Gasilan dari Direktorat Standardisasi Produk Pangan Badan POM RI, perlu dilakukan diskusi bersama terkait teknologi tersebut yang melibatkan industri, Pemerintah, dan juga peneliti/akademisi. “Saat ini belum ada regulasi khusus tentang nanomaterial sebagai bahan pangan di Indonesia. Pengawasan keamanan nanomaterial secara umum masih harus sesuai dengan regulasi yang ada,” kata Ir. Gasilan.
Seminar FOODREVIEW INDONESIA kali ini juga menghadirkan pembicara lainnya, seperti Henky Wibawa (Direktur Eksekutif Indonesian Packaging Federation), Dr. Hoerudin (Balai Besar Pasca Panen), dan Dr. Nugraha Edhi Suyatma (Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan/SEAFAST Center IPB). Materi seminar selengkapnya dapat diunduh disini. @hendryfri