Peningkatan Keamanan Pangan Nasional dengan Kontribusi Kajian Resiko




Kemajuan ilmu dan teknologi pangan yang diaplikasikan di rantai produksi pangan, distribusi pangan di seluruh bagian dunia yang semakin marak, serta perubahan preferensi dan gaya hidup konsumen dalam memilih pangan menjadi tantangan tersendiri bagi seluruh pemangku kepentingan di sepanjang rantai pangan untuk dapat bersama-sama menjaga keamanan pangan. Oleh karena itu, sinergisme dan keterpaduan kajian risiko keamanan pangan sangat penting untuk meningkatkan kontribusi kajian risiko sebagai landasan ilmiah dalam program keamanan pangan nasional. Kajian dalam bidang kimia, mikrobiologi, termasuk biologi molekuler, baik dengan obyek kajian produk pangan itu sendiri, bahan kontak pangan, maupun kesehatan konsumen pangan sangatlah penting untuk menjadi landasan ilmiah bagi penyusun kebijakan keamanan pangan (manajer risiko) sehingga kebijakan yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.


Standar dan legislasi nasional dan internasional sebagai dasar pengaturan karantina dan pengawasan keamanan pangan mengacu pada SPS agreement yang terdiri dari OIE (WHO) yang mengatur sanitary (hewan dan produk hewan); IPPC yang mengatur Phytosanitary (tumbuhan dan produk tumbuhan); serta Codex yang mengatur keamanan pangan seputar residu pestisida, cemaran mikroba dan cemaran fisik serta isu halal. “Ketiga standar ini juga bersinergi dnegan undang-undang yang berlaku di Indonesia, seperti undang-undang tentang karantina hewan, tumbuhan dan undang-undang lain yang mengatur tentang keamanan pangan,” tutur Dr. Drh. Sophia Setyawati, MP., Kepala Bidang Kerjasama Perkarantinaan Badan Karantina Pertanian pada acara Lokakarya Jejaring Intelejen Pangan yang diadakan di Jakarta, 18 Desember 2013 lalu.


Adanya globalisasi dan liberalisasi perdagangan internasional dapat berdampak positif dan negatif terhadap Indonesia, perdagangan internasional merupakan salah satu upaya mempromosikan produk Indonesia ke luar negeri. Namun, perdagangan internasioanl ini pun berisiko akan masuknya beberapa produk yang dapat berdampak buruk pada Indonesia seperti adanya penyakit baru. “Keadaan tersebut dapat mengancam kesehatan masyarakat dan kesehatan hewan domestik, untuk itu diperlukan sistem pengawasan yang kuat terhadap impor produk dari luar negeri,” kata Dr. Drh. Sophia.


Kemudian Agus Heri Purnomo, Ph. D. selaku Kepala Badan Litbang Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kementerian Kelautan dan Perikanan RI menjelaskan bahwa produk perikanan Indonesia yang diekspor sering mengalami penolakan. “Ikan merupakan salah satu bahan pangan penting untuk memasok kebutuhan pangan nasional dan internasional tapi ternyata baik kebutuhan dalam dan luar negeri tersebut banyak menghadapi kendala, salah satunya yaitu masalah keamanan pangan,” ungkapnya. Adanya masalah tersebut Kementerian Kelautan dan Perikanan RI melakukan identifikasi, pengamatan serta pengawasan terhadap produk yang dapat menimbulkan bahaya, hal ini dilakukan untuk menghasilkan produk yang baik yang bisa memenuhi pasar dalam negeri maupun luar negeri.


Sedangkan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI melakukan Total Diet Study (TDS) untuk meningkatkan keamanan pangan yang strategis. “Pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat melalui  banyak hal dan salah satunya melalui pengamaman makanan dan minuman yang tidak memenuhi standar agar tidak dikonsumsi masyarakat,” jelas Dr. Uken Sukaeni, M.Sc., Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. Sejak tahun 2001, Indonesia sudah menyepakati mengenai persistent Organic Pollutants (POPs). Pops sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan secara global dan sumber utama POPs adalah daerah kegiatan militer, pabrik kertas dan bubr kayu, pusat tenaga listrik, daerah penambangan, daerah kebakaran hutan, pembakaran sampah dan lain-lain.


Beberapa senyawa POPs yang dapat membahayakan, yaitu aldrin, chlordane, DDT, dieldrin, endrin, heptachlor, mirex, toxaphene, hexachlorobenzene, PCBs, PCDD (Dioxins), dan PCDF (Furans). “Pada umumnya semua senyawa yang berbahaya tersebut dapat merusak sistem endokrin, sistem reproduksi dan bersifat karsinogenik,” tambah Dr. Uken. Total Diet Study dilaksanakan berdasarkan tiga prinsip, yakni representasi asupan makanan sehari, penggabungan sampel makanan yang akan dianalisis dan sampel diolah sebagaimana dikonsumsi masyarakat. TDS pada tahun 2014 di Indonesia dimulai dengan survey konsumsi makanan lalu dilanjutkan dengan pengumpulan sampel makanan. Senyawa yang akan dianalisis diantaranya pestisida, logam berat, kontaminasi senyawa dari industri, kontaminasi senyawa dari proses produksi, mycotoxin, food additives, senyawa yang dilarang untuk makanan serta kandungan gizi. “Dengan upaya tersebut diharapkan dapat meningkatkan keamanan pangan nasional,” tutup Dr. Uken. Kiki