Teknologi Pasteurisasi & Mikrofiltrasi Susu: Menjamin Keamanan Pangan, Mengoptimalkan Zat Gizi
Oleh: Sri Mulyani dan Anang M. Legowo
Teknologi Pangan, Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro
Saat ini Industri susu menghadapi tantangan kompleks dalam memenuhi dua tuntutan utama, yaitu: keamanan pangan dan kualitas gizi. Produk susu sangat rentan terhadap kontaminasi mikrobiologis karena merupakan media yang kaya nutrisi bagi pertumbuhan mikroorganisme.
Susu mengandung komponen gizi yang lengkap dari protein, lemak, gula/ laktosa dan juga mineral. Proses penanganan susu segar yang kurang optimal, dapat memicu tumbuhnya bakteri patogen seperti Listeria monocytogenes, Salmonella spp., Escherichia coli O157:H7 dan Mycobacterium bovis. Kontaminasi tersebut dapat terjadi sejak proses pemerahan, penyimpanan maupun distribusi.
Untuk mengatasi hal tersebut diatas, biasanya dilakukan proses termal untuk mengurangi ataupun mematikan semua bakteri dan mikroorganisme. Diantaranya melalui proses pasteurisasi, baik dengan metode Low Temperature Long Time (LTLT) atau High temperature Short Time (HTST), maupun metode sterilisasi Ultra High Temperature (UHT). Namun perlakuan termal dapat berdampak pada kerusakan zat gizi pada susu, seperti degradasi vitamin karena panas, misalnya vitamin C, B1, B6, dan B12, terjadi denaturasi protein, dan beberapa enzim yang bermanfaat menjadi inaktif, misalnya laktoperoksidase dan fosfatase.
Tren global preferensi konsumen yang menginginkan produk alami, segar dan minim proses juga menjadi tantangan bagi industri susu. Pada akhirnya konsumen akan berpikir bahwa produk susu berbasis UHT kehilangan nutrisi dan tidak alami lagi. Fenomena ini mendorong produsen untuk mencari alternatif solusi proses yang aman sesuai standar internasional namun masih tetap mempertahankan nilai gizi susu segar. Salah satu alternatif teknologi tersebut adalah mikrofiltrasi.
Pasteurisasi susu
Pasteurisasi adalah proses pemanasan makanan atau minuman (terutama produk cair seperti susu, jus buah, dan bir) hingga suhu tertentu dan dalam waktu tertentu. Tujuan utama proses pasteurisasi adalah mematikan semua mikroorganisme patogen. Proses pasteurisasi mutlak diikuti dengan proses pendinginan untuk memperlambat pertumbuhan mikroba yang masih hidup, mikroba pembusuk, sehingga tidak terjadi kerusakan yang signifikan selama penyimpanan. Pasteurisasi dikembangkan pertama kali oleh Louis Pasteur pada tahun 1864 dalam usahanya mencegah kerusakan anggur dan bir. Pada prinsipnya pasteurisasi merupakan proses pemanasan di bawah 100°C untuk menghindari kerusakan zat gizi, rasa dan tekstur produk. Beberapa metode pasteurisasi susu yang dikembangkan kemudian mengacu pada dua metode utama sebagai berikut:
- LTLT, pasteurisasi pada suhu minimal 63°C selama 30 menit
- HTST, pasteurisasi pada suhu minimal 72°C selama 15 detik
Metode HTST lazim diterapkan pada industri susu skala menengah dan besar, dengan proses secara kontinyu. Pada realitanya beberapa industri susu di Indonesia, menerapkan suhu yang lebih tinggi untuk proses HTST, disebabkan karena tingginya kontaminasi awal bakteri pada susu segar. Oleh karena itu, faktor keamanan pangan yang lebih diutamakan dibandingkan penurunan nilai gizi. Namun demikian, pada prinsipnya pasteurisasi efektif untuk membunuh patogen seperti Listeria dan Salmonella, sehingga meningkatkan keamanan produk. Adapun beberapa keterbatasan dari proses pasteurisasi yaitu tidak membunuh semua mikrooorganisme, terutama yang bersifat termofilik (membentuk spora), memerlukan penyimpanan dingin, dan tidak dapat diterapkan pada semua produk pangan. Kelompok produk yang tidak sesuai untuk proses pasteurisasi antara lain produk dengan lemak tinggi dan produk olahan pangan yang memiliki stabilitas emulsi rendah (seperti salad dressing berbasis minyak), produk yang mengandung spora resisten panas (daging kaleng). Demikian pula pada produk pangan olahan berbentuk padat tapi tidak homogen, dan produk yang memerlukan mikroorganisme hidup (produk pangan fermentasi).
Teknologi mikrofiltrasi (MF)
Teknologi Mikrofiltrasi (MF) adalah teknologi pemisahan berbasis fisika yang memanfaatkan membrane berpori (ukuran 0,1-1,0 mikrometer) untuk memisahkan partikel besar seperti bakteri, spora, lemak dan sel dari cairan susu. Prinsipnya zat dan mikroorganisme yang ukurannya lebih besar dari pori pori membran akan tertahan, sedangkan zat/ komponen dan cairan yang ukurannya lebih kecil akan lolos dari filter membran. Mekanisme mikrofiltrasi diawali dari susu dialirkan melalui membran mikrofiltrasi (tubular atau spiral wound), fraksi yang tidak lolos, biasanya berupa bakteri, spora dan zat partikel besar disebut sebagai retentate, sedangkan fraksi yang lolos membran (air, laktosa, mineral, sebagian protein larut) disebut permeate. Mikrofiltrasi dilakukan pada suhu dingin/ rendah (5–55°C) untuk menghindari kerusakan zat gizi karena panas.
Teknologi MF dapat menjadi solusi modern proses non termal bagi Industri susu untuk meningkatkan keamanan mikrobiologis pangan dan memperpanjang masa simpan, dengan tetap mempertahankan kualitas gizi dan sensoris. Penerapan mikrofiltrasi pada Industri pangan bertujuan untuk menghilangkan mikroorganisme, diantaranya spora dan bakteri patogen dari Bacillus cereus atau Listeria monocytogenes. Teknik ini sesuai untuk susu segar premium dan susu yang akan diproses lebih lanjut menjadi keju artisan. Selain itu MF sebagai solusi metode pemisahan fraksi Susu, misalnya memisahkan protein whey dari kasein, atau mengurangi kadar lemak dalam susu secara alami. Oleh karena itu MF berpotensi untuk dikembangkan dalam Industri susu, utamanya untuk produk susu segar rendah mikroba sebagai bahan baku keju artisan, susu UHT berkualitas tinggi serta susu protein tinggi (melalui fraksinasi protein). Sebagai salah satu proses non termal, mikrofiltrasi dapat mempertahankan kualitas nutrisi dan rasa susu lebih baik dibandingkan proses pasteurisasi. MF juga mempuyai tingkat presisi yang tinggi untuk memisahkan partikel berdasarkan ukuran fisik, lebih hemat energi dan mempuyai fleksibilitas yang tinggi untuk dikombinasikan dengan teknologi yang lain, contohnya pasteurisasi.
Kombinasi pasteurisasi dan mikrofiltrasi
Pasteurisasi dan mikrofiltrasi sangat menungkinkan untuk dikombinasikan, sehingga menghasilkan efek sinergis dalam pengolahan susu. Gabungan kedua metode ini merupakan solusi untuk susu segar yang mengandung total mikroba awal yang relatif tinggi, seperti beberapa kasus yang terjadi di Indonesia. Reduksi mikroba akan terjadi lebih optimal karena mikrofiltrasi menghilangkan hampir 99,99% mikroorganisme sebelum pasteurisasi, sedangkan proses pasteurisasi membunuh sisa mikroorganisme, termasuk mikroba termofilik. Efek sinergi yang lain adalah masa simpan yang lebih panjang, bisa 2-3 kali dari proses pasteurisasi saja, dan kualitas nilai gizi dan sensoris yang terjaga. Teknologi ini dapat diaplikasikan pada metode pasteurisasi HTST dengan suhu yang rendah sehingga mengurangi kerusakan protein dan vitamin sekaligus mempertahankan rasa segar dan alami susu. Penelitian yang dilakukan oleh Steffen et al. (2018) menunjukkan bahwa pasteurisasi setelah MF tidak mengubah komposisi protein bahan Milk Fat Globule Membane (MFGM) pada susu secara signifikan dibandingkan dengan kontrol susu yang tidak dipasteurisasi. Hasil ini memperluas kemungkinan implementasi pada produk olahan susu yang diperkaya MFGM. Veronica et al. (2025) melaporkan bahwa proses pemisahan/ mikrofiltrasi, bersama dengan pasteurisasi, diidentifikasi memiliki dampak terbesar pada komposisi mikrobiota susu dan pengurangan spora.
Di Eropa, beberapa industri susu sudah menerapkan teknologi mikrofiltrasi untuk meningkatkan efisiensi dalam proses pasteurisasi metode HTST, sehingga dihasilkan susu yang memiliki kesegaran dan rasa mendekati susu segar, tetapi tetap aman dikonsumsi. Seiring perkembangan teknologi dan tuntutan pasar, kedua metode ini akan semakin luas dan terintegrasikan dalam rantai produksi pangan modern. Dengan demikian teknologi pasteurisasi dan mikrofiltrasi merupakan dua pendekatan komplementer dalam menjamin keamanan pangan tanpa mengorbankan kualitas nutrisi. Kombinasi kedua metode menghasilkan produk susu yang aman, bergizi tinggi serta rasa segar alami. Beberapa tantangan dalam proses implementasinya antara lain biaya investasi yang mahal dan validasi ketat untuk proses alternatif pengganti pasteurisasi ditetapkan oleh lembaga regulasi seperti FDA (Food and Drug Administration), EFSA (European Food Safety Authority) dan Codex Alimentarius. Selain itu perkembangan teknologi proses nontermal, juga menawarkan kombinasi metode mikrofiltrasi dan perlakuan ultraviolet (UV).
Referensi:
Veronica, M., Skeie, S. B., & Davide, P. (2025). Changes in milk microbiota and spore content during milk processing unit operations. International Dairy J., 168: 106293.
Zhibin Li, Liu, D., Shu Xu , Zhang , W., Hemar, Y., & Zhou , P. (2021). Effects of pasteurization, microfiltration, and ultraviolet-c treatments on microorganisms and bioactive proteins in bovine skim milk. Food Bioscience, 43 : 101339
Steffen, F. H., Petrot-Melin, B., Romussen, J. T., Larsen, L. B., Ostenfeld, M. S. & Wiking, L. (2018). Placing pasteurization before or after microfiltration impacts the protein composition of milk fat globule membrane materials. International Dairy J., 81: 35-41.