Sensasi Mouthfeel dalam Flavor Pangan



Oleh Christofora Hanny Wijaya
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, IPB University

Pengalaman kuliner yang tak lagi mengenal batas geografis saat ini membuat tuntutan konsumen terhadap cita-rasa (flavor) semakin kompleks. Sensasi flavor yang diinginkan konsumen tidak lagi hanya berfokus pada aroma dan rasa tetapi mulai bergeser pada sensasi fisik yang hadir saat makanan atau minuman berinteraksi dengan mulut—terutama karakteristik mouthfeel.

Fenomena ini dapat diamati dengan mudah dengan munculnya produk-produk pangan berkonsep seperti puffy, foamy (lembut seperti busa), harsh (pedas, padas, sepat, getar), crunchy, creamy, gummy, juicy, cooling hingga atribut pendatang baru pemberi sensasi mouthfullness yang dikenal sebagai kokumi. Harus diakui sulit untuk bisa mengupas tuntas kelompok atribut sensasi yang satu ini, namun tidak ada salahnya untuk mulai mengenalinya.

Atribut mouthfeel dalam pangan
Kehadiran produk pangan dengan sensasi mouthfeel yang menonjol mudah ditemukan dewasa ini, seperti minuman jenis teh atau kopi dengan sentuhan sensasi creamy yang menonjol, contoh cheese tea. Ada kelompok bubble atau jelly drink yang memberi sentuhan chewiness dan slurry. Untuk makanan misalnya, sentuhan pada atribut crispy dan crunchy pada keripik/kerupuk dan gorengan, foamy pada cheese cake, melted (meleleh) dan chewy pada pangan berkeju mozarela, juga ramainya sentuhan sensasi pedas, panas dan bergetar seperti halnya racikan bumbu mala (perpaduan cabai plus sezchuan pepper).

Nah apakah itu mouthfeel? Hingga saat ini masih belum diperoleh definisi atau terminologi yang dapat diterima oleh banyak pihak. Sensasi ini mengacu pada sensasi fisik yang terasa di dalam mulut saat mengonsumsi suatu pangan. Mouthfeel memainkan peran penting dalam penerimaan flavor dan keseluruhan kenikmatan saat makan, walau selama ini masih kurang diperhatikan dan cenderung disepelekan. Apabila diamati dengan cermat, atribut ini sesungguhnya berpengaruh besar pada penerimaan dan persepsi kualitas suatu pangan yang mendampingi sensasi aroma dan rasa.

Menurut Spence dan Piqueras- Fiszman (2016) faktor-faktor kunci pada sensasi meliputi:

1. Fattiness (rich, creamy feel)
2. Carbonation (tingling, fizzy)
3. Temperature (hot, cold)
4. Astringency (dry, puckering)
5. Texture (smooth, gritty, crunchy)
6. Viscosity (thick, watery)

Akhir-akhir ini muncul pula beberapa sensasi kenyal (gummy/chewy), bergetar (trembling) dan ‘semriwing’ (cooling) yang menambah varian sensasi mouthfeel pada berbagai produk pangan yang kita jumpai di kehidupan sehari-hari.

Pada salah satu publikasi review (ulasan) dibahas tentang ketidakkonsistenan dalam terminologi terkait mouthfeel yang digunakan saat ini. Disinyalir hal ini disebabkan oleh perbedaan fokus penelitian. Tiga kelompok fokus penelitian yang terkait mouthfeel meliputi: (1) orientasi produk (atribut molekular), (2) orientasi produk/manusia (melibatkan manusia: reseptor, saliva/air liur, pengunyahan, dan lain-lain) dan (3) orientasi manusia (setelah produk ditelan). Di masa mendatang nampaknya diperlukan konsensus untuk memperoleh model/ klasifikasi mouthfeel yang dapat diterima secara umum guna membantu baik peneliti maupun produsen pangan dalam berkomunikasi.

Szczesnia (1979) telah melakukan upaya pertama mendefinisikan terminologi tekstur dan mouthfeel, menyimpulkan 11 kategori untuk terminologi mouthfeel sebagai berikut:

1. Viscosity-related terms Thin, thick, viscous
2. Feel on soft tissue surfaces Smooth, pulpy, creamy
3. Carbonation-related terms bubbly, tingly, foamy
4. Body-related terms Heavy, watery, light
5. Chemical effects Astringent, burning, sharp
6. Mouthcoating, clinging, fatty, oily
7. Resistance to tongue movement Slimy, syrupy, pasty, sticky
8. After-feel-mouthfeel Clean, drying, lingering, cleansing
9. After-physiological Refreshing, warming, thirst-quenching, filling
10. Temperature-related Cold, hot
11. Wetness-related Wet, dry

Seperti halnya atribut flavor yang lain, persepsi terhadap mouthfeel pun akan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal seperti usia, kesehatan, gender, pengalaman, ekspektasi dst. Faktor eksternal seperti adat budaya, kebiasaan, lingkungan, tradisi dan lain-lain (Marcus, 2019).

Tantangan terbesar terkait atribut mouthfeel saat ini adalah keinginan untuk pengurangan lemak/minyak pada produk pangan. Lemak/minyak sangat berperan pada sensasi mouthfeel: creamy, smooth, lubricating sensation. Mungkin masih ingat kebiasaan kita selama ini mengoles roti tawar dengan mentega, margarin, selai kacang, spread keju dan lain-lain untuk mengurangi sensasi brittle roti yang membuatnya sulit ditelan. Sensasi smooth dari krim berlawanan dengan sensasi gritty or coarse, seperti pada roti kering atau kacang-kacangan, pangan dengan sensasi creamy memberikan perasaan nyaman dan memberikan kepuasan bagi konsumennya. Creaminess sering diasosiasikan dengan keseimbangan kandungan lemak yang menghasilkan kesan richness tanpa terkesan overly greasy (terlalu berminyak). Peran lemak/minyak yang lain adalah dapat juga membantu pelepasan flavor yang tepat dan menekan flavor yang menusuk, serta meningkatkan overall mouth-coating richness.

Kokumi, pendatang “baru” dalam sensasi pangan
Terminologi umami sudah dikenal dalam dunia perflavoran sebagai salah satu rasa dasar yang disukai dan memiliki peran penting dalam kelezatan suatu produk pangan. Akhir-akhir ini selain umami telah diperkenalkan terminologi kokumi, suatu sensasi yang terkait dengan atribut mouthfeel yang mulai mengundang perhatian.

Kokumi secara harfiah berarti kuat, kaya, atau pekat, dan biasanya diasosiasikan dengan kemampuan meningkatkan kelezatan. Kokumi berkorelasi dengan beberapa aspek sensoris dan memberikan penerimaan kesukaan hedonik yang positif. Umumnya, kokumi (atau kokumi flavor) terinduksi secara dominan dengan kombinasi dari beberapa sensasi yang berbeda, seperti aroma, tekstur, dan rasa pada pangan yang memiliki kandungan ingridien yang kompleks dan biasanya diperoleh setelah proses pemasakan, fermentasi, aging, curing, pengeringan, atau perebusan api kecil (slow cooking).

Atribut sensasi sensoris yang umumnya digunakan dalam analisis sensoris kokumi adalah thickness (concentration, amplitude, strength, but not viscosity), mouthfulness (the spread of sensation throughout the whole mouth), continuity (long-lasting sensory effects including an increase in duration of aftertaste), roundedness (smoothness, balance, harmony), depth (richness, complexity), dan punch (impact, quick increase). Beberapa dari terminologi yang digunakan di sini diterjemahkan langsung terminologi Jepang yang sulit dicarikan padanan yang tepat sehingga menimbulkan kerancuan dalam pemahaman.

Senyawa pemberi kokumi ditemukan dilaporkan terdapat pada beberapa kacang-kacangan yang dapat meningkatkan sensasi mouthfeel. Senyawa-senyawa ini hampir tidak memiliki rasa, tetapi ketika ditambahkan pada suatu pangan dapat meningkatkan mouthfullness, in-mouth thickness/ viscosity, dan flavor continuity (Kuroda and Miyamura 2015). Menurut Nishimura dan Kuroda (2019), senyawa-senyawa ini yang ditemukan pada beberapa kacang-kacangan sebagai Senyawa kokumi berupa berbagai γ-glutamyl peptida (GGP) telah diisolasi dari ekstrak beberapa kacang-kacangan seperti kedelai, kidney beans, edamame, dan kacang mete.

Keberadaan Mono Sodium Gluatamat (MSG) dalam pangan diketahui mempunyai dua efek: pertama memberikan rasa dasar unik yang dikenal sebagai umami, dan satu lagi sebagai penguat rasa. Hasil penelitian saat ini juga menunjukkan bahwa MSG memfasilitasi pengikatan senyawa kokumi ke reseptor kokumi. Sebaliknya senyawa kokumi yang terikat meningkatkan intensistas umami, rasa manis, rasa asin dan sensasi berlemak yang meningkatkan kelezatan, bersanding dengan sensasi kokumi seperti thickness, mouthfulness, dan continuity. Perlu dicatat pentingnya ada keseimbangan yang tepat antara senyawa kokumi dan umami agar memperoleh sensasi kokumi yang diinginkan. Jika jumlah senyawa kokumi terlalu rendah maka kontribusi suplementasi umami tidak akan diperoleh, demikian juga sebaliknya. Fenomena sains yang menarik untuk terus digali dan diimplementasikan dalam pengembangan produk-produk pangan yang mampu menjawab keinginan pasar kekinian, selain tuntutan rendah lemak, gula dan garam namun tetap memiliki karakteristik rasa yang baik (Yamamoto dan Yamamoto, 2023)

Beberapa temuan menarik lain terkait kokumi seperti diketahui bahwa teh hijau juga kaya senyawa kokumi terutama γ-Glu-Gln and γ-Glu-Cys- Gly (GSH) selain senyawa L-theanine dapat meningkatkan sensasi kokumi. Fermentasi juga dapat mempunyai peran dalam sensasi kokumi. Beberapa mikroba mempunyai peran penting pada profil γ-glutamyl profil. Selain itu ada korelasi nyata antara γ-glutamyl peptides dengan senyawa-senyawa volatil dari golongan ester, alkohol, asam, keton dan hidrokarbon yang secara komprehensif berkontribusi pada sensasi kokumi. Percobaan pada kaldu ayam (Chicken consommé) memperlihatkan bahwa kandungan γ-Glu-Val-Gly memperkuat secara nyata pada karakteristik sensasi umami dan “mouthfulness” (mouth-filling sensation), dan secara nyata memperkuat karakteristik mouth-coating. Selain itu, dilaporkan bahwa γ-Glu-Val- Gly meningkatkan intensitas sensasi continuity, mouthfulness dan thickness ketika ditambahkan ke sup ayam rendah lemak. Hal ini memberikan harapan bahwa peptida kokumi seperti γ-Glu- Val-Gly potensial untuk memperbaiki flavor pangan rendah lemak, gula dan garam.

Penutup
Tidak bisa dimungkiri bahwa tujuan makan saat ini adalah menikmati kelezatan pangan yang dikonsumsi. Pangan yang lezat tentunya baik untuk kesehatan mental dan fisik selama tidak berlebihan. Penggunaan potensi sensasi mouthfeel dalam membuat produk pangan yang lezat dan menyehatkan sesuai dengan konsep pangan fungsional tentunya akan memberikan pilihan pangan yang lebih beragam dan tepat sasaran.

Referensi:
 

Kuroda. M and Miyamura, N. 2015. Mechanism of the perception of “kokumi” The flavor-enhancing action of glutamate and its mechanism substances and the sensory characteristics of the “kokumi” peptide, γ-Glu- Val-Gly. https://flavourjournal.biomedcentral.com/artic les/10.1186/2044-7248-4-11.

Marcus, J. B. 2019. Flavor enhancement techniques. https://doi.org/10.1016/b978-0-12-813527-3.00007-7.

Nishimura, T. and M. Kuroda .2019. Koku in Food Science and Physiology :Recent Research on a Key Concept in Palatability. https://link.springer.com/ book/10.1007/978-981-13-8453-0.

Szczesniak, A.S. 1979. Classification of mouthfeel characteristics of beverages Food texture and rheology: 1-20 (Classification of mouthfeel characteristics of beverages)

Takashi Yamamoto and Chizuko Inui-Yamamoto .2023. The flavor-enhancing action of glutamate and its mechanism involving the notion of kokumi. https://doi. org/10.1038/s41538-023-00178-2.