strategi adopsi Kemasan ramah lingkungan untuk Keberlanjutan UMKM Pangan



Oleh Condro Wibowo
Dosen Teknologi Pangan Universitas Jenderal Soedirman Ketua PATPI Cabang Banyumas

Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup melalui Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional pada tahun 2024, terdapat lebih dari 33 juta ton sampah yang hampir 20% dari timbulan sampah tersebut adalah berupa plastik (data dari 307 kota/kabupaten). Dominasi sampah plastik ini menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan dan kesehatan. Artikel ini mengkaji potensi adopsi kemasan ramah lingkungan oleh UMKM pangan sebagai strategi mitigasi yang berkelanjutan.

Sebagai respons terhadap tingginya proporsi sampah plastik dalam limbah nasional (data KLHK, 2024) yang berpotensi menimbulkan degradasi lingkungan multidimensional dan risiko kesehatan jangka panjang, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Regulasi ini secara spesifik menetapkan tanggung jawab kepada sektor manufaktur, ritel, serta produk pangan untuk mencapai pengurangan timbulan sampah sebesar 30% pada tahun 2030, dengan fokus pada produk atau kemasan yang sulit terurai, tidak dapat didaur ulang, dan/atau tidak dapat digunakan kembali. Meskipun UMKM belum menjadi target utama dalam implementasi peraturan ini, urgensi untuk mengatasi polusi plastik secara komprehensif mendorong perlunya promosi dan adopsi kemasan ramah lingkungan di kalangan UMKM sebagai langkah strategis untuk berkontribusi pada pengurangan sampah plastik secara nasional.

Bagi UMKM yang memproduksi produk pangan, kemasan berperan penting dalam penjualan karena berkontribusi untuk melindungi produk, memberikan informasi, memperpanjang umur simpan, dan penjenamaan. Saat ini, sebagian besar UMKM menggunakan plastik sebagai pengemas dengan alasan: ringan, tahan lama, mudah didapatkan dan murah. Selain itu, plastik mudah untuk diproses menjadi berbagai bentuk dan ukuran, serta mempunyai sifat yang transparan sehingga menjadikannya sesuai untuk mengemas berbagai produk. Terkait dengan produk pangan, Pemerintah Indonesia sudah menerbitkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Peraturan lebih detail tentang pangan diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan, sedangkan aturan tentang pengemas terdapat pada Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Aturan tersebut bertujuan untuk menyediakan pangan yang terjaga kualitasnya dan kemasan yang aman untuk memperpanjang umur simpan produk pangan yang dipasarkan. Aspek keamanan pangan merupakan aspek penting yang harus dipertimbangkan dalam pengemasan produk pangan, terutama pada saat menggunakan kemasan ramah lingkungan. Oleh karena itu, pengunaan kemasan ramah lingkungan untuk produk pangan perlu dikaji dengan baik agar tetap dapat melindungi produk dan sekaligus mengurangi timbulan sampah plastik.

Konsekuensi kontaminasi lingkungan yang diakibatkan oleh penggunaan kemasan plastik telah mendorong munculnya pendekatan baru, yaitu mengurangi, mendaur ulang, dan menggunakan kembali (3R) bahan kemasan (Mneimneh et al., 2024) dengan tetap menekankan pada fungsi utama kemasan sebagai penghalang kontaminan. Secara umum, bahan yang digunakan untuk kemasan pangan harus memiliki kemampuan untuk memberikan perlindungan, memastikan keamanan, mudah digunakan, dan menyajikan informasi dengan cara yang efektif. Kemajuan kemasan aktif yang ramah lingkungan sangat penting untuk melindungi produk pangan, mencegah kontaminasi patogen, dan mengurangi pencemaran lingkungan. Selain itu, munculnya bahan kemasan ramah lingkungan yang berasal dari polimer alami telah muncul sebagai alternatif yang menjanjikan untuk ketergantungan yang pada kemasan plastik konvennsional (Wibowo et al., 2024). 

Bahan kemasan ramah lingkungan
Salah satu bahan kemasan ramah lingkungan yang berasal dari polimer alami adalah biodegradable film. Biodegradable film merupakan pilihan alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada kemasan plastik konvensional. Biodegradable film didefinisikan sebagai lapisan tipis berbahan dasar biopolimer yang dapat digunakan untuk menjaga kualitas produk pangan dan melindunginya dari kontaminan yang disebabkan oleh agen mekanik, fisik, kimia, dan mikroba. Biodegradable film dapat diproduksi oleh biopolimer seperti polisakarida, protein, dan lipid. Saat ini, biodegradable film dapat dikembangkan untuk memiliki kemampuan self-healing (Wibowo et al., 2024), sehingga mempunyai kemampuan melindungi produk yang lebih baik. Biodegradable film packaging merupakan alternatif yang ideal sebagai pengganti plastik tetapi saat ini masih belum memungkinkan digunakan oleh UMKM karena faktor harga dan ketersediaannya.

Oleh karena itu, perlu dicari alternatif lain yang sesuai dengan kemampuan pelaku UMKM, salah satunya adalah eco-friendly plant-based packaging yang dapat dibuat dari berbagai bagian tanaman yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Potensi pemanfaatan bahan tersebut sangat besar di Indonesia karena Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah. Bahan tersebut dapat berupa bambu, serat kayu, daun, pelepah tanaman, pati, hingga selulosa. Pengolahan bahan baku tersebut dapat dibuat dengan berbagai macam metode dari yang sederhana hingga yang kompleks. 

Berbagai usaha yang dilakukan untuk menggunakan pengemas ramah lingkungan juga perlu mengacu pada peraturan tentang kemasan pangan di Indonesia yang telah diatur pada Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Pada aturan tersebut disampaikan bahwa Kemasan Pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus pangan baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak. Kemasan Pangan berfungsi untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan, melindungi produk dari kotoran, dan membebaskan pangan dari jasad renik patogen. Pertimbangan beberapa faktor tersebut maka penggunaan kemasan ramah lingkungan bagi UMKM bidang pangan yang memungkinkan adalah sebagai pengemas sekunder, sedangkan pengemas primer masih menggunakan plastik dengan pengurangan pada ketebalannya, sehingga ada aspek “reduce” atau pengurangan sampah plastik. Hal tersebut dilakukan sebagai trade-off antara aspek perlindungan produk dan pengurangan pengunaan plastik. Pengunaan plastik sebagai kemasan primer diperlukan untuk menekan harga jual dan diperuntukan bagi UMKM dengan skala mikro atau kecil, sedangkan untuk UMKM skala menengah sudah memungkinkan untuk menggunakan pengemas logam atau kaca untuk pengemas produknya.

ramah lingkungan sudah digunakan oleh UMKM produsen pangan yang berupa kemasan kertas, berbagai jenis daun, serat, dan anyaman bambu. Pada umumnya produk pangan tersebut adalah makanan tradisional denga umur simpan yang singkat, seperti: legondo, jadah, mendoan, gethuk, atau wajik. Produk pangan dengan umur simpan yang panjang memerlukan aspek perlindungan yang lebih baik dari bahan kemasan yang digunakan untuk tetap menjaga kualitas produk selama distribusi dan penjualan. Penggunaan kertas sebagai pengemas produk pangan, umumnya sebagai pengemas sekunder, dapat berkontribusi dalam menurunkan timbulan sampah plastik. Pengemas kertas merupakan jenis yang sesuai untuk media cetak/print, mudah didapatkan, dan harga relatif terjangkau tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa pengemas kertas mempunyai barrier properties relatif rendah, sekali pakai, dan dampak langsung terhadap masyarakat relatif kecil karena pengemas kertas merupakan hasil produksi dari industri besar. 

Pada program adopsi kemasan ramah lingkungan untuk pelaku UMKM, penggunaan sumber daya lokal perlu dipertimbangkan sebagai bahan baku agar dapat memberikan dampak ekonomi yang lebih besar kepada masyarakat. Bahan anyaman pandan, enceng gondok, dan serat pelepah pisang, memungkinkan dibuat menjadi kemasan sekunder untuk produk pangan tetapi prosesnya yang komplek dan biaya yang tinggi sehingga harga jual produk menjadi mahal. Bambu merupakan bahan baku pengemas produk yang potensial untuk dikembangkan karena ketersediaan bahan baku yang melimpah di Indonesia, harganya yang murah, adanya banyak perajin anyaman bambu, dan adanya beberapa perajin bambu profesional yang dapat memberikan pelatihan. Bambu merupakan bahan alami yang mempunyai tingkat kekauan yang tinggi sehingga dapat melindungi produk, mempunyai tampilan yang alami dan menarik serta bersifat biodegradable. Potensi tersebut memungkinkan untuk menjadikan bambu sebagai pengemas pangan. Hal yang perlu diperhatikan terkait karakteristik bambu adalah masih mengandung kadar air cukup tinggi dan bersifat porous (mampu menyerap kadar air dari lingkungan), sehingga persiapan bahan baku perlu dilakukan pengeringan dan akan lebih baik jika diberi perlakuan khusus (coating) sehingga mencegah potensi terjadinya kontaminasi dan memperpanjang umur simpan kemasan tesebut. Anyaman bambu yang digunakan sebagai pengemas sekunder sebaiknya dengan bentuk yang unik dan berbeda dengan yang sudah ada selama ini. Modifikasi tersebut perlu dilakukan sehingga akan mempunyai daya tarik yang tinggi, misalnya adalah pembuatan besek dengan bentuk kotak persegi dengan diberi engsel sehingga dapat dibuka tutup dengan mudah, berbagai jenis tas dengan motif anyaman unik, jadi kemasan tersebut dapat dipakai lagi oleh konsumen untuk keperluan yang lain (reuse). 

Tahapan menuju keberlanjutan
Program peralihan menuju kemasan ramah lingkungan harus mendapatkan dukungan dari para pemangku kepentingan agar dapat berjalan dengan lancar. Alternatif tahapan kegiatan yang dilakukan untuk program tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sosialisasi kemasan ramah lingkungan kepada pelaku UMKM Pangan
Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran pelaku UMKM Pangan akan arti pentingnya kemasan ramah lingkungan dan dampak negatif dari pengemas plastik (awareness initiatives). Informasi disampaikan terkait dengan manfaat kemasan ramah lingkungan, dampak negatif pengemas plastik, tren terkini dalam industri kemasan ramah lingkungan, serta contoh produk UMKM pangan yang sudah sukses menggunakan pengemas ramah lingkungan sehingga mereka mempunyai gambaran yang jelas tentang hal tersebut.

2. Pelatihan secara komprehensif dan pendampingan secara intensif kepada pelaku UMKM pangan dan perajin bambu 
Pelatihan dan pendampingan jangka panjang diperlukan agar pelaku UMKM bidang pangan dan juga perajin anyaman bambu mendapatkan kesesuaian antara kemasan yang diharapkan dengan yang diproduksi, dan ada penyediaan kemasan ramah lingkungan secara berkelanjutan oleh pemasok lokal dari bahanbahan lokal. Materi pelatihan harus secara komprehensif dari tahap awal proses pengolahan sampai dengan pemasaran, yaitu: perbaikan cara pengolahan pangan yang baik, peningkatan kualitas produk pangan yang dihasilkan, penggunaan bahan tambahan pangan yang tepat, desain pengemasan, promosi dan pemasaran digital. Hal tersebut untuk memberikan manfaat yang besar kepada pelaku UMKM bidang pangan. Pelatihan utk produsen kemasan ramah lingkungan (perajin bambu) perlu dilakukan agar mereka dapat memproduksi jenis kemasan sesuai dengan yang dibutuhkan oleh UMKM pangan dengan kualitas yang baik. 

3. Fasilitasi bagi UMKM Pangan yang menggunakan kemasan ramah lingkungan
Pemerintah atau insitutsi lain perlu memberikan fasilitasi berupa tempat berjualan/outlet khusus produk dengan kemasan ramah lingkungan agar produk tersebut menarik perhatian konsumen. Fasilitasi kerjasama dengan organisasi atau institusi lain yang dapat memberikan dampak positif bagi pengembangan UMKM, seperti LSM, institusi pendidikan, perusahaan, dan lainlain. Promosi yang efektif untuk mengenalkan produk tersebut pada event tertentu atau kepada restoran, atau hotel skala besar serta dukungan untuk mengikuti pameran. Dengan mengadopsi kemasan ramah lingkungan, UMKM dapat berkontribusi pada pelestarian lingkungan, memenuhi harapan konsumen, mematuhi peraturan, dan berpotensi untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Penerapan penggunaan kemasan ramah lingkungan untuk UMKM perlu dilakukan secara bertahap dan membutuhkan peran aktif dari pemerintah, industri, LSM, akademisi, dan pemangku kepentingan lainnya dalam mendukung tahapan implementasinya. Oleh karena itu, inisiasi untuk kolaborasi antar pemangku kepentingan perlu dilakukan dan harus diperkuat untuk mencapai tujuan tersebut. 

Referensi:
Mneimneh, F., Haddad, N., & Ramakrishna, S. (2024). Recycle and Reuse to Reduce Plastic Waste - A Perspective Study Comparing Petro- and Bioplastics. In Circular Economy and Sustainability. Springer Nature. https://doi.org/10.1007/s43615-024-00381-7. 

Wibowo, C., Salsabila, S., Muna, A., Rusliman, D., and Wasisto, HS. (2024). Advanced biopolymerbased edible coating technologies for food preservation and packaging. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety. https://doi. org/10.1111/15414337.13275.